Friday, April 16, 2004

"Asal Ada Abang DIsisi Ku....

Hmmm… kupandangi Al Quran bersampul kuning
keemasan itu. Warnanya tak pudar walaupun telah
sepuluh tahun ia tinggal di rak buku ruang tamuku.
Lembarannya tak cacat sedikitpun walau sering kubaca.
Dan satu kali dalam satu tahun aku memandangi takjub
maharku itu seperti ini...

Suamiku baru saja pulang kerja. Dia tampak lelah.
Kusiapkan air hangat untuknya sore ini. Makanan dan
minuman kesukaannya telah kuhidangkan di meja makan
lebih awal. Sprei tempat tidur telah kuganti. Kordin
telah kucuci dan kupasang lagi. Seluruh bagian rumah
telah kubersihkan.

”Kok senyum aja sih dari tadi?” suamiku menegurku. Aku
hanya bisa tertawa kecil. ”Nggak pa pa. Pingin sedekah
aja. He he...”

Suamiku membalas senyumanku dan pergi mandi.

Saat ditutup, kuamati pintu kamar mandi itu... dan
sekeliling rumah ini. Rumah kontrakan penuh kenangan.
Sebentar lagi rumah ini akan menjadi milik kami karena
pemilik sebenarnya akan pindah ke luar kota dan
menjualnya pada kami. Suamiku pun bekerja lembur
akhir-akhir ini untuk melunasinya.

Malam ini aku dan suamiku menikmati makan malam
sebelum isya. Kebetulan anak-anak sedang liburan di
rumah neneknya. Rumah jadi terasa sepi.

Terdengar suara motor berderu melewati rumah kami
sekali waktu. Terdengar pula suara televisi tetangga
sebelah rumah dan sesekali tawa mereka.

Dari seberang meja makan kupandangi suamiku itu. Baju
koko telah dipakainya. Dia telah siap untuk berangkat
ke masjid. Wajahnya tak berubah, masih seperti itu...
kalem. Hanya jenggotnya saja yang kian lebat. Hmmm...
dia masih dengan pendiriannya. Subhanallah...

Pulang suamiku dari masjid, aku baru saja selesai
mencuci piring.

”Abang baru inget. Sepuluh tahun lalu abang nikahin
kamu ya, dek? Pantes dari tadi seyum aja. Ngerayain
yang kayak gitu2 nggak level kan, dek?! Nah, mendingan
pijetin abang nih, abang capek banget hari ini.”

Ha ha ha... masih. Dari dulu emang manja bapak ini.

Tapi tidak saat dia datang ke rumahku sepuluh tahun
lalu. Aku hanya bisa mendengar percakapan hangat itu
dari balik pintu kamarku. Ayahku meragukannya. Yaaah,
aku rasa adalah hal yang wajar bila setiap orang tua
ingin anaknya hidup berkecukupan. Dan yaaah, memang
untuk hidup di jaman sekarang, pekerjaan suamiku yang
tidak tetap mungkin tidak bisa mencukupi hidup kami
nanti. Maklumlah, baru lulus kuliah. Tapi suamiku
percaya, insya Allah, Allah akan memudahkannya.

Sempat kututup telingaku saat suara ayahku mendominasi
percakapan hari itu.

Aku hampir saja menangis. Aku tak mau ta’arufku
sia-sia. Dan untuk tidak menjadi isteri seorang yang
shalih seperti dia adalah suatu kerugian bagiku. Namun
tak lama ibuku datang ke kamarku dengan terseyum dan
menanyakan jawabanku. Rupanya aku menutup telingaku
terlalu lama hingga aku tak menyadari bahwa saat itu
suamiku tengah memberi pengertian pada ayahku dan
akhirnya meyakinkan beliau.

Seminggu pertama aku dan suamiku tinggal di rumah
orang tuaku. Karena rumah yang dikontrak suamiku baru
bisa dipergunakan setelah seminggu itu, ya rumah ini.
Selama seminggu itu dia sibuk sekali. Entah apa saja
yang dikerjakannya. Dan setelah minggu itu berlalu,
ada rasa khawatir di wajahnya saat ia mengatakan
padaku, ”Dek, di rumah itu... nggak ada apa-apanya.”

Ia menatapku sendu.

Sebenarnya aku dan suamiku berasal dari keluarga yang
cukup berada. Hanya saja mungkin itu masalah harga
diri bagi kaum lelaki, aku juga tidak begitu mengerti.

Di tengah kekhawatirannya itu ku katakan padanya,
”Abang... asalkan ada ember biar adek bisa nyuciin
baju abang, asal ada paku dan tali biar adek bisa
ngejemur, asal ada api biar adek bisa masak buat
abang, asal ada alas buat kita tidur, asal ada kain
buat nutup jendela, asal ada sapu biar rumah kita
tetap bersih, asal cukup air, asal bisa beli bayam dan
tempe, dan selang sehari kita shaum... insya Allah,
itu bukan masalah bagi adek.”

Ia tersenyum, masih dengan tatapan yang sendu itu.
Hhh... aku jadi sedih. Sejak ta’aruf dulu, dia telah
mengatakan segala kemungkinan hidup kita nanti. Dan
aku telah menyatakan kesiapanku... insya Allah, aku
sanggup menghadapi apapun... bersamanya...

Esok harinya kamipun pindah. Selama seminggu itu aku
memang tak diizinkannya untuk melihat kontrakan itu.
Dan saat aku sampai di sana... Subhanallah, ruang tamu
mungil dengan perabotan terbuat dari rotan yang cukup
untuk diduduki empat orang saja. Rak buku yang biasa
kulihat di rumahku menjadi penghalang ruang tamu
dengan ruang makan. Rak buku itu memang dibuatkan
khusus oleh ayahku untukku. Beliau tahu hobiku membaca
buku. Wah, pantas saja aku tak melihat rak itu di
rumah akhir-akhir ini.

Aku melihat-lihat seluruh rumah itu. Ruang makan yang
sederhana hanya tersedia dua bangku di situ dengan
meja kecil yang cukup untuk makan kita berdua saja. Di
kamar tidur ternyata telah ada sebuah tempat tidur,
lemari baju dan meja hias. Di sebelah kamar itu ada
ruang kosong, untuk kamar anak-anak kelak. Di dapur
telah ada peralatan masak hadiah dari ibuku dan ibu
mertuaku. Di bagian belakang rumah itu ada kamar
mandi. Di luarnya telah ada sapu ijuk dan sapu lidi
plus tempat sampah. Di tempat mencuci telah ada ember
dan gayung.

Semua jendela telah berkordin.

Belum sempat aku mengomentari rumah itu, suamiku
berkata, ”Dek, abang lupa beli tali sama paku buat
jemuran.”

Hi hi hi. Aku tertawa cekikikan. ”Adek kira rumahnya
bener-bener kosong nggak ada apa-apanya.”

”Yaaah... maksud abang gak ada apa-apanya dibandingin
rumah adek.”

Hi hi hi... abang.

Dulu yang kupinta pada Allah adalah hanya seorang
suami seperti abang, yang sholih, yang mau usaha, yang
optimis, tawakal. Jadi di manapun kita tinggal,
seperti apapun keadaanya, sekurang apapun
fasilitasnya, asalkan
ada abang... hidupku udah lengkap.

Princess LL

(untuk pangeranku, datanglah pada ayahku dan jabatlah
tangan beliau. Katakanlah dengan bangga ”Sir, your
daughter is in a good hand, insya Allah.”) ==>
hueheheh patut dicontoh neh!

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home