Wednesday, May 05, 2004

"Janji Melulu"

Seorang wanita mengalami stres berat kemudian datang ke psikiater.

Ternyata wanita itu stres karena sudah menikah tiga kali tetapi tetap
saja perawan.
Psikiater bertanya, "Apa yang Anda keluhkan?"
Jawab wanita itu, "Aku stres berat karena sudah tiga kali menikah
tetapi tetap saja perawan?"
Psikiater bertanya lagi, "Bagaimana bisa terjadi?"
Wanita itu menjelaskan, "Suami yang pertama impoten, suami yang kedua
homoseksual, dan suami yang ketiga politikus."
Sahut psikiater, "Bukankah suami yang ketiga bisa?"
Wanita yang stres itu menjawab, "Suami yang ketiga hanya janji-janji
melulu!"

Itu adalah sebuah cerita banyolan konyol yang menyinggung dunia
perpolitikan dan sudah cukup terkenal di kalangan dunia politik. Dan,
agaknya cerita banyolan itu mengena dengan keadaan yang terjadi
dengan dunia politik. Sebuah sindiran praktis, yaitu pada umumnya
para politikus itu suka mengobral janji tetapi realisasinya selalu
dipertanyakan.

"Saudara-Saudara! negeri ini terpuruk karena pengelolanya tidak becus
mengurus negeri ini, oleh karena itu kami bertekad untuk
memperjuangkan rakyat yang selalu tertindas. Maka, janganlah salah
pili! Pilihlah aku!" Demikianlah kurang lebih kalimat yang keluar
dari para petualang politik di negeri ini yang sekarang sedang giat-
giatnya berpetualang.

Kali ini negeri kita, Indonesia, telah mengadakan pemilu. Orang-orang
menyebutnya dengan pesta demokrasi. Mereka mendambakan negara yang
adil dan makmur, sejahtera dan bahagia, yaitu sebuah cita-cita yang
tinggi. Tetapi, mengapa orang-orang tidak berpikir bahwa pemilu di
negeri ini telah diadakan berkali-kali. Toh keadaannya tetap saja
begini. Rakyat kecil masih tetap menderita dari dulu hingga kini.
Apakah para pemimpin kita itu menepati janji?

Pada zaman orde lama, zaman kepemimpinan Soekarno, pemilu dimenangkan
oleh barisan nasionalis sekuler. Mereka telah berjanji hendak
menyejahterakan rakyat. Ketika mereka berkuasa tidak menjadikannya
rakyat makmur sejahtera. Karena pemimpinnnya gila politik dan harga
diri kebangsaan. Meskipun rakyatnya menderita, dibangunnya bangunan-
bangunan mercusuar agar terpandang di dunia. Pada zaman orde baru,
zaman kepemipinan Soeharto, pemilu dimenangkan oleh barisan
nasionalis Islam. Mereka telah berjanji hendak menyejahterakan
rakyat. Ketika mereka berkuasa juga tidak menjadikannya rakyat makmur
dan sejahtera. Karena, pemimpinnya lebih mengutamakan keluarganya,
kroni-kroninya, dan para pengusahanya. Akibatnya, negara ini penuh
dengan utang dan kerusakan akibat ulah para kroni-kroninya dan para
pengusahanya. Kemudian, bergantilah pada zaman reformasi ini, zaman
kepemimpinan Habibi, Gus Dur, dan Megawati. Mereka berjanji hendak
memberantas KKN untuk menyejahterakan rakyat. Dulunya tokoh-tokoh
reformis seperti Gus Dur dan Megawati itu selalu menghujat pemerintah
karena KKN-nya. Tetapi, ketika mereka menjadi pemerintah, KKN tetap
saja dipertahankannya. Janji tinggallah janji!

Akhirnya, zaman ini kemudian penuh diwarnai dengan hiruk-pikuk
ketidakpercayaan. Keadaannya seolah-olah sudah tidak ada orang yang
dapat dipercaya. Hingga kini rakyat masih menunggu kejelasan karena
berada dalam ketidakjelasan. Sampai-samapai ada yang melontarkan
kalimat yang sadis, "Kalau saja orang-orang seusia 30 tahun ke atas
dibunuh!" Maksudnya, untuk menghilangkan budaya KKN yang sudah
mengakar di negeri ini, orang-orang yang berusia 30 tahun ke atas
yang telah terkontaminasi dengan pemerintahan yang lama itu perlu
dibunuh. Nauzubilah.

Kita mendengar konon katanya di negeri tetangga kita, Malaysia,
rakyatnya sudah lebih makmur daripada di negeri Indonesia. Padahal,
perbandingan kekayaan negerinya, negeri Indonesia masih jauh lebih
kaya daripada Malaysia. Konon katanya di negeri kerajaan yang jauh di
sana, Arab Saudi, rajanya membagi-bagikan makanan kepada orang-orang
miskin. Negeri itu rakyatnya lebih makmur dan sejahtera daripada
negeri ini. Padahal, sistem pemerintahannya masih kerajaan, yang
katanya tidak lebih baik dari sistem demokrasi. Jadi, ternyata ada
yang salah di dalam pengelolaan negara selama ini.

Kini dengan semangat yang baru, dengan sistem pemilihan yang baru
pula, para politikus kembali mengajak masyarakat untuk bersatu
membangun Indonesia yang baru. Mereka berkeliaran ke sana ke mari.
Dan, ternyata orang-orangnya sebagian besar adalah sama seperti yang
kita lihat dan kita dengar selama ini. Mereka datang menemui rakyat
kecil untuk mencari simpati. Dengan semangat jiwa yang berkobar-
kobar, mereka singsingkan lengan baju, demi mencapai cita-cita yang
dituju, yaitu mereka ingin sekali menjadi orang nomor satu. Bicaranya
mengeras, memukau, dan menyentuh hati. Tidak lain karena mereka
menumpahkan kembali janji-janji.

Berpikirlah wahai orang-orang! Jika Anda tertarik dengan mereka
karena janji-janji, bukankah mereka selama ini telah mengingkari janji?
Kita masih berharap semoga negeri ini dipimpin oleh orang-orang yang menepati janji.

"Karena Janji adalah Hutang n' Bila tidak sanggup untuk menepati janji jangan berucap janji pada orang lain :)"

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home